Indonesia harus segera melakukan lompatan teknologi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan AI, kata ekonom senior Halim Alamsyah dalam Podcast Cuap Cuap Cuan di Kanal Youtube CNBC Indonesia.
Dengan sumber daya alam yang melimpah dan peluang besar dari era kecerdasan buatan (AI), pemerintah memiliki kesempatan langka untuk mengubah arah pembangunan ekonominya. Namun, tanpa kebijakan yang tepat dan fokus pada inovasi, potensi tersebut bisa hilang, sehingga memperbesar kesenjangan dengan negara maju.
Halim Alamsyah menilai posisi Indonesia dalam ekonomi global masih lemah karena fundamental ekonomi yang belum cukup kuat. Menurutnya, Indonesia belum berada pada level negara maju seperti Amerika Serikat yang memiliki sumber pertumbuhan sekuler berbasis inovasi dan riset.
“China bisa menjadi kuat karena sumber pertumbuhan datang dari modal dan tenaga kerja melimpah. Ketika kita menghadapi krisis masa lalu, investasi asing masuk membawa teknologi, meskipun bukan teknologi kelas satu. Saat itu, kebijakan pro-investasi mendukung pemulihan ekonomi Indonesia, terutama di masa Presiden Soeharto,” jelas Halim.
Tapi, pola pertumbuhan semacam itu tidak cukup untuk membawa Indonesia ke tahap ekonomi berikutnya. “Kita perlu pertumbuhan sekuler yang berasal dari riset dan inovasi, seperti yang terlihat di Amerika Serikat. Industri berbasis teknologi selalu muncul setiap beberapa tahun, yang mendorong pertumbuhan ekonomi mereka.”
Sawit dan nikel merupakan salah satu potensi besar sumber daya alam (SDA) yang kini dimiliki Indonesia. Sektor ini sangat potensial menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi.
Kata Halim, sawit kita unggul. Saingannya hanya Malaysia atau beberapa negara Afrika. “Tapi kita dihambat oleh regulasi Eropa.” Oleh sebab itu, pemerintah perlu memanfaatkan sawit dan nikel dengan insentif dengan kebijakan benar, serta peta hilirisasi yang jelas.
Menurutnya, SDA harus menjadi basis pertumbuhan ekonomi yang memberikan dampak nyata, seperti menciptakan lapangan kerja. Namun, untuk mencapai hal tersebut, kebijakan industrialisasi Indonesia perlu dirombak total agar lebih adaptif terhadap perubahan global.
Peluang dari Era Kecerdasan Buatan (AI)
Halim juga menyoroti pentingnya memanfaatkan peluang dari era kecerdasan buatan (AI) untuk mempercepat lompatan teknologi.
Dia menyebut, saat ini sebagai abad AI—sebuah kesempatan langka bagi negara seperti Indonesia untuk melakukan lompatan teknologi—meskipun Indonesia belum punya kemampuan yang mumpuni, AI bisa mempercepat proses kerja dan mendorong inovasi baru.
Ia menambahkan bahwa AI dapat menjadi katalis bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dalam pengembangan industri berbasis teknologi. “Kita harus memanfaatkannya untuk menciptakan efisiensi dan mempercepat transformasi industri,” kata ekonom senior itu.
Oleh sebab itu, kata Halim, Indonesia harus segera beralih dari pola pertumbuhan yang mengandalkan SDA semata, ke pertumbuhan berbasis inovasi dan teknologi. Potensinya sangat besar, asal didukung dengan kebijakan tepat, dan tujuan jangka panjangnya jelas.
Kuncinya, yakni rransformasi kebijakan dan investasi dalam riset serta teknologi agar Indonesia dapat bersaing di era global dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. “Masalahnya, kesempatan seperti ini bisa terbuang percuma jika tidak dimanfaatkan,” tutupnya.***